BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan meninggalnya Khlifah Ali Bin Abu Thalib dari Khulafaur Rasyidin, maka bentuk pemerintahan Islam yang dirintis Nabi Muhamad SAW berubah dari sistem demokrasi menjadi monarkhi (kerajaan) yaitu Dinasti Bani Umayyah. Dinasti Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah. Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diploma dan tipu daya, tidak dengan pemilihan seperti pemerintahan Khulfaur Rasyidin. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarki di Persia dan Byzantium. Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai Gubernur sebelumnya, khalifah-khalifah besar pada dinasti Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M), Abdul Malik bin Marwan
(685-705 M), Walid bin Abdul Malik (705-715 M), Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dan Hasyim bin Abdul Malik (724-743 M). [1]
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah merupakan pemerintahan yang penuh dengan kegoncangan, terjadilah pertikaian politik yang hebat antara Dinasti Umayyah dengan musuh-musuhnya, pemberontakan terhadap penguasa mulai merajalela, pada periode ini pula mulai tumbuh dan berkembangnya dengan pesat beberapa firqoh dalam islam seperti syi’ah, khawarij, murjiah dan sebagainya, sehingga perkembangan sastra pada fase-fase tertentu periode ini cenderung diwarnai oleh nuansa politis dimana masing masing firqoh berlomba-lomba membuahkan produk sastra demi mendukung pemikiran mereka.
Seni sastra di masa Bani Umayyah berkembang dengan pesatnya, sehingga mampu menembus kedalam jiwa manusia dan berbedudukan tinggi didalam masyarakat, sehingga syair yang muncul senantiasa menonjolkan sastranya, disamping isinya yang sangat bermutu. Para penyair tersebut diantaranya ialah Junair (653-733 M) dan Al-Farazdah (641-732 M). [2]
Dari uraian diatas tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana perkembangan sastra dan ilmu pada masa Bani Umayyah, yang mana dengan seni sastra tersebut mampu menembus kedalam jiwa manusia dan berkedudukan tinggi didalam masyarakat.
B. Pembatasan Masalah
Adapun pembatasan masalah dari pada kajian ini adalah perkembangan sastra dan ilmu pada masa Bani Uamayyah.
C. Perumusan Masalah
Sejalan dengan pembatasan masalah yang telah dikemukakan, maka pokok permasalahan yang dipertanyakan dalam makalah ini adalah bagaimana perkembangan sastra dan ilmu pada masa bani Umayyah.
BAB II
BAB II
PERKEMBANGAN SASTRA DAN ILMU PADA MASA BANI UMAYYAH
A. Kelahiran Bani Umayah
Nama ” Daulah Umayah” berasal dari nama ” Umayah ibnu” Abdi Syam ibnu ”Abdi Manaf”, yaitu salah seorang dari pemimpin Qurays di zama Jahiliyah.[3]
Bani Umayah merupakan keturunan Umayah, yang masih memiliki ikatan famili dengan para pendahulu Nabi. Naiknya bani Umayah ke puncak kekuasaan, dimulai oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan, salah seorang keturunan bani umayah dan salah seorang sahabat Nabi, dan ia menjadi bagian penting dalam setiap masa pemerintahan para khulafa ar-rasyidun. Pada masa Ustman, Mu’awiyah diduga memiliki hubungan yang kuat dengan Ustman, sehingga terjebak dengan praktik nepotisme dengan Mu’wiyah. Bahkan kerusakan pemerintahan Ustman akibat nepotismenya kepada Bani Umayah, sehingga mendapatkan tantangan dari para pendukung Ali.[4]
Bani Umayyah baru masuk Islam setelah Nabi Muhammad Saw. Berhasil menaklukan kota Mekah (Fathul Makkah). Sepeninggalan Rasulullah, Bani Umayyah sesungguhnya telah menginginkan jabatan penggati Rasul (Khalifah), tetapi mereka belum berani menampakkan cita-citanya itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Baru setelah Umar meninggal, yang penggantinya diserahkan kepada hasil musyawarah enam orang sahabat, Bani Umayyah menyongkong pencalonan Utsman secra terang- terangan, hingga akhirnya Utsman terpilih. Sejak saat itu mulailah Bani Umayyah meletakan dasar-dasar untuk menegakan Khalifah Umayyah. Pada masa pemerintahan Utsman inilah Mu’awiyyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya, dan menyiapkan daerah Syam sebagi pusat kekuasaanya di kemudian hari.[5]
B. Perkembangan Sastra pada Masa Bani Umayyah
Sastra secara etimologi berarti bahasa, kata-kata, gaya bahasa yang di pakai dalam kitab-kitab atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.[6] Karya tulis yang jika di bandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, kearsistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah merupakan pemerintahan yang penuh dengan kegoncangan, terjadilah pertikaian politik yang hebat antara Dinasti Umayyah dengan musuh-musuhnya, pemberontakan terhadap penguasa mulai merajalela, pada periode ini pula mulai tumbuh dan berkembangnya dengan pesat beberapa firqoh dalam islam seperti syi’ah, khawarij, murjiah dan sebagainya, sehingga perkembangan sastra pada fase-fase tertentu periode ini cenderung diwarnai oleh nuansa politis dimana masing masing firqoh berlomba-lomba membuahkan produk sastra demi mendukung pemikiran mereka.
Khutbah
Khutbah Al-Batro’ Ziyad bin Abihi kepada Penduduk Bashroh
Pada tahun 45 H Terjadi kekacauan dan perselisihan yang hebat di Bashroh dibawah kepemimpinan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, melihat keadaan yang begitu parah Mu’awiyah mengangkat Ziyad bin Abihi sebagai gubernur Bashroh karena Ziyad memang terkenal dangan kekuatan, kepemimpinan serta kebijaksanaannya. Ketika Ziyad mendatangi Bashroh ia pun mengumpulkan manusia untuk menyampaikan Khotbahnya yang terkenal dengan nama Al-Batro’. Dinamai dengan Al-Batro’ karena kedahsyatannya dan ketegasannya bagai pedang yang menyayat jiwa penduduk Bashroh. Khutbah ini begitu menggentarkan penduduk Bashroh yang dikenal dengan kerusakan moral mereka saat itu, membuat nyali mereka ciut dan takut, Ziyad bin Abihi berkata yang diantaranya :[7]
“Wahai sekalian manusia: sesungguhnya kami telah menjadi pemimpin kalian, dan sebagai pembela kalian, kami pimpin kalian dengan kekuasaan yang Allah berikan kepada kami, dan kami lindungi kalian dengan perlindungan Allah yang kami upayakan, maka wajib bagi kalian untuk dengar dan patuh terhadap apa yang kami perintahkan, dan wajib bagi kami untuk terus bersikap adil terhadap rakyat kami, maka balaslah keadilan yang kami berikan dengan nasihat kalian kepada kami, dan ketahuilah betapapun aku bahwa aku tidak akan meremehkan tiga perkara : aku tidak akan terhalang oleh siapapun diantara kalian yang memiliki keperluan denganku walau ia datang kepadaku ditengah malam gulita, dan akau tidak akan menghalangi kalian dari pemberian dan rizki yang menjadi hak kalian, dan aku tidak akan menahan pasukan perang di daerah perbatasan dalam waktu yang lama sehingga mereka bisa kembali kepada keluarganya, doakanlah kebaikan kepada pemimpin kalian, karena mereka adalah pengatur kehidupan kalian yang akan mendidik kalian, mereka adalah gua tempat kalian berteduh, apabila mereka baik maka kalian pun akan baik .”
Kitabah atau Surat
Surat Abdul Hamid Al-Katib kepada Para Penulis
Tulisan adalah petunjuk terhadap peradaban suatu bangsa dan perkembangan pemikiran mereka, ia adalah suatu bentuk seni yang memiliki dasar dan kaidah-kaidah, barang siapa yang ingin menjadi penulis islam yang baik maka ia hendaknya ia membaca dan memahami Al-Qur’anul Karim dan Hadist-hadist Rasulullah yang shohih, hendaknya pula ia membaca buku-buku sastra dan memperbaiki tulisannya serta menjaga diri dari segala perkara yang membawanya kepada kehinaan dan selalu bersemangat untuk menggapai keutamaan hidup. Hal tersebut telah dijelaskan oleh Abdurrahman Al-Katib dalam sebuah surat kepada para penulis dimasanya, ia berkata dalam tulisannya :
“Berlombalah kalian wahai para penulis dalam menghasilkan karya sastra, pelajarilah ilmu agama kalian, mulailah dengan ilmu Kitabullah beserta ilmu warisnya dan kaidah-kaidah bahasa arab, karena ia adalah pengasah lisan kalian, kemudian perindahlah tulisan tangan kalian karena ia adalah perhiasan bagi karya kalian, riwayatkanlah syair-syair dan serta pahamilah kata-kata asing dan maknanya, pelajarilah sejarah bangsa arab dan bangsa-bangsa selainnya, kesusastraan serta sejarah mereka, karena sesungguhnya itu akan membantu kalian dalam menggapai impian, saling berkasih sayanglah karena Allah dalam berkarya wahai para penulis, saling menasehatilah kalian dengan hal-hal yang telah dilakukan oleh para pemilik keutamaan, keadilan serta kemuliaan diantara pendahulu kalian.”[8]
syair
Pujian dan Permohonan Jarir bin Utaibah kepada Umar bin Abdul Aziz
Beberapa penyair pada periode ini memiliki kebiasaan memuji Khalifah untuk memperoleh hadiah dari mereka, ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah para penyair mendatanginya dan berdiri didepan pintu istananya menunggu izin untuk masuk, diantara mereka yang terpilih adalah Jarir bin Qutaibah dari Yamamah yang sedang dilanda kekeringan, ketika Jarir berdiri dihadapan Umar bin Abdul Aziz, Umar berkata kepadanya (( Bertakwalah kepada Allah wahai Jarir, jangan kau katakan sesuatu kecuali kebenaran )). Kemudian Jarir pun melantunkan syairnya mengadukan keadaan kaumnya yang sedang dilanda kekeringan panjang.[9]
Diantaranya ia berkata :
كــم بـالـيمـامـة شعـثـاء أرمـلة وكم من يتيم ضعيف الصوت والبصر
مـمـن يـعــدك تكفي فـقـد ولـده كالفرخ في العش لم ينهـض ولـم يـطر
خـليفــة الله مـاذا تـأمرون بـنـا لــسـنـا إلـيــكـم ولا فــي دار مـنـتـظـر
أنت المـبارك والمهدي سـيرته تعصي الهـوى وتـقوم اللـيل بـالـسـور
أصبحت للمنبر المعمور مجلسه زيـنـا وزيـن قــبا ب المـلـك والـحجــر
فلن تزال لهذا الدين ما عمروا مـنـكـم عمـارة مـلـك واضــح الغـرر
إنا لنرجو إذا مـا الغيث أخلفـنا مــن الخــليـفـة مــا نـرجـو من المطـر
هذه الأرامل قد قضيت حاجتها فـمـن لـحاجــة هـــذا الأرمــل الـــذكر؟
Betapa banyak janda-janda tua di Yamamah
Juga anak-anak yatim yang telah lemah suara dan tatapan mereka
Cukuplah kematian ayah dari anak-anak yang sering menyebut kebaikanmu itu
Bagai anak burung dalam sangkarnya, tak mampu berdiri apalagi terbang
Wahai Khalifah Allah, apa yang kau perintahkan kepada kami..
Tidaklah kami pergi menemuimu melainkan dari tempat yang jauh
Kau adalah sosok dengan kisah hidup yang penuh barokah dan hidayah
Kau maksiati hawa nafsumu dan berdiri ditengah malam melantunkan Ayat-ayat Allah
Kau bagaikan perhiasan yang menghiasi mimbar para raja
Dan menghiasi kubah-kubah dan bilik istana
Tetaplah kau jaga agama ini sepanjang hayatmu wahai Khalifah
Sebagaimana orang sebelummu menjaganya dengan penuh cahaya
Sesungguhnya yang kami inginkan bila hujan tak kunjung datang
Hanyalah pemberian yang kan kau hujankan kepada kami
Itulah permohonan mereka para janda wanita itu
Maka apa yang akan engkau berikan kepada duda yang berdiri dihadapanmu ini ?
C. Perkembangan Ilmu pada Masa Bani Umayyah
Dinasti Umayah berlangsung selama 90 tahun lamanya dengan beberapa 19 khalifah. Dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut, tentu saja sudah banyak yang dilakukan oleh dinasti Umayah dalam memajukan Islam, terutama di sektor pengembangan ilmu pengetahuan. Seperti pada masa-masa khalifah sebelumnya, masa Bani Umayah, akal dan ilmu juga berjalan seperti pada masa itu, walaupun ada beberapa kemajuan yang berhasil dilakukan oleh dinasti Umayah, karena pada waktu telah mulai dirintis jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan eksakta.
Pada masa Dinasti Umayah, ilmu pengetahun berkembang dalam tiga bidang, yaitu :
- Bidang Diniyah
- Bidang Tarikh, dan
- Bidang Filsafat
Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan selama pemerintahan dinasti Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granda dan lain sebagainya.
Pada masa Umayah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu : [10]
1. .Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru)
yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul Dkhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi .
2. Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama)
yaitu ilmu yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal. [11]
Tokoh-tokoh ilmu pengetahuan islam pada masa Umayyah[12]
a. Imam Asy’ari (260-324H. /874-936M.)
Nama lengkapnya Abu Hasan’Ali bin Ismail al Asy’ari,lahir di Basyrah. Beliau adalah pelopor berdirinya aliran Ahlus Sunnah Waljama’ah (ASWAJA) . Beliau paham betul tentang ajaran Mu’tazilah yang sangat mengandalkan akal pikiran,maka akhirnya ia keluar dan kembali kepada ajaran islam yang murni,yakni ajaran yang telah digariskan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
b. Imam Syafi’I (150-204H. /767-820M.)
Nama lengkapnya Muhammad bin Idris bin Syafi’i Al-Muthollibi, lahir di Ghuzah. Beliau termasuk pendiri Madzhab Empat dan Mujtahid Mutlaq.
c. Al Khawarizmi (780-850M.)
Al Khawarizmi lahir di Bagdad. Beliau adalah pendiri ilmu aljabar,dan sistem algorithme adalah diambil dari Al Khawarizmi yang telah merombak matematika barat.
d. Al Battani (877-919M.)
Beliau menulis “dengan ilmu bintang-bintang”,manusia mendapatkan bukti tentang keEsaan Tuhan dan sampai kepada pengertian tentang kebijaksanaan karyanya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah terjadi pertikaian hebat antara Dinasti Umayyah dengan musuh-musuhnya, pemberontakan terhadap penguasa mulai merajalela, pada periode ini pula mulai tumbuh dan berkembangnya dengan pesat beberapa firqoh dalam islam seperti syi’ah, khawarij, murjiah dan sebagainya, sehingga perkembangan sastra pada fase-fase tertentu periode ini cenderung diwarnai oleh nuansa politis dimana masing masing firqoh berlomba-lomba membuahkan produk sastra demi mendukung pemikiran mereka.
Dinasti Umayah berlangsung selama 90 tahun lamanya dengan beberapa 19 khalifah. Dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut, tentu saja sudah banyak yang dilakukan oleh dinasti Umayah dalam memajukan Islam, terutama di sektor pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa Dinasti Umayah ini, ilmu pengetahun berkembang dalam tiga bidang, yaitu Diniyah, Tarikh, dan Filsafat.
[1]PDF. Perkembangan Islam masa Bani Umayyah. Hal.3
[2]Perkembangan Islam masa Bani Umayyah. Pdf, hal.6
[3] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta : Pustaka al-Husna, 2003), hlm. 21
[4] Ibid.hal.64
[5] Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan islam, I, trj, Muchtar Yahya, (Jakarta: Pusataka al-Husna, 1983), hlm. 2.
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[9] Ibid..
[12] http://www.taufikelmasyk.co.cc/2010/10/1-allah-sebelum-islam-tanggapan-2-atas.html